Sebulan sudah sejak terungkap kebenaran tentang kemaian Alea. Sejak itu pula semuanya berubah, Sayaka mengambil istirahat sejenak untuk meluruskan pikirannya. Di tengah kamar apartemennya Sayaka duduk termenung, dari atas kasurnya menatap pemandangan kota yang terpancar di balik kaca. Dibalut keheningan, laki laki secorpio itu kembali menitikan air matanya. Ia merindukan lelakinya, sosok yang terakhir kali ia temui Sebulan lalu. Wistara menghilang sejak saat itu, saat itu ia hanya meminta waktu sendiri dan Sayaka memberikannya, namun siapa sangka sang kekasih justru menghilang bak ditelan bumi.
Sayaka telah mencoba menghubungi atau mencari Wistara ke rumah dan aparteman, bahkan ia juga mendatangi kantor kekasihnya itu. Namun ia tak pernah menemukan di mana letak keberadaan Wistara.
Pikirannya kembali bercabang, berbagai kemungkinan buruk hinggap di kepalanya. Mulai dari keraguaannya pada perasaan Wistara hingga ketakutannya akan terjadi sesuatu pada Wistara. Sayaka benar benar menghawatirkan sosok itu, tapi ia tidak bisa berbuat apapun.
“YA AMPUN ADEK”
Itu suara bunda, Wanita paruh baya itu terkejut melihat putra bungsunya yang terlihat kacau. Kamar yang gelap hanya bermodalkan cahaya dari balkon, Sayaka dengan mata bengkak dan hidung merahnya. Ibu mana yang tidak terkejut ketika melihat kondisi itu.
“Bunda…” Saya menjatuhkan dirinya pada pelukan Jade begitu ia mendekat ka arah sang putra.
“Bunda udah sengar semuanya dari abang, sekarang perasaan adek gimana?
“Itu salah adek Bun, seandainya adek lebih peka dengan kondisi Gayas, seandainya adek nggak coba-coba sama Gayas, semua ini pasti nggak akan terjadi Bun.”
“Ssst, sayang dengerin Bunda ya, ini takdir, ini jalan kehidupan yang sudah tuhan ciptakan.”
“Tapi Bun, semua orang menderita di sini.”
“Tapi ini jalannya, selama ini Gayas tidak bisa mengeluarkan ekspresinya dan kejadian ini membuat semua orang tau apa yang Gayas rasakan.”
“Dan dengan ini juga adek jadi tau kalau cintanya Mas Wista bukan sepenuhnya milik adek.” Bunda mengeratkan pelukannya ketika ia mendengar ucapan yang keluar dari bibir Sayaka.
“Adek, Bunda nggak tau seperti apa perasaan Wista, saat ini itu semua hanya pandangan adek kan?” Sayaka mengangguk, masih dalam dekapan sang bunda.
“Tunggu ya sayang, tunggu sebentar lagi, kita tau ini berat untuk Wista. Dia kehilangan orang yang pernah menjadi nomor satu dalam hidupnya, dan ketika dia harus melihat fakta bahwa keluarganya adalah penyebab dibalik hal buruk yang menimpa dirinya juga Alea, menurut adek akan sehancur apa Wista? Bunda minta adek kasih Wista waktu ya, namun jika nanti kenyataannya buruk bagi adek, adek pulang ya, ada bunda, ayah, abang, dan kakak. Kami siap mencintai adek lebih dari siapapun.”
“Makasih ya Bunda, makasih udah selalu ada untuk adek, makasih nggak pernah ngebiarin adek sendiri.”
“Sama-sama sayang, kamu anak Bunda, jadi nggak mungkin bunda biarin kamu sendiri ya.”
Matahari bersinar redup, bersembunyi di balik awan awan. Dengan langkah pelan Wistara memasuki lahan yang penuh dengan gundukan tanah. Kaki jenjangnya membawa Wistara ke salah satu gunudukan tanah yang sudah cukup lama ta kia datangi. Beberapa rumput liar tumbuh di atasnya. Tangan Wistara dengan telaten membersihkan dan mencabut satu persatu rumput liar itu, juga menaburkan bunga bunga yang dibelinya sebelum memasuki area makam.
Wistara dating mengunjungi Alea. Tanpa perduli tanah yang akan mengotori pakaiannya, Wistara terduduk disamping nisan yang bertuliskan nama orang yang sempat sangat ia cintai.
“Al, aku datang, maaf ya baru datang sekarang. Belakangan ini aku agak sibuk. Kamu apa kabar? Pasti sudah nggak sakit lagi ya di sana?”
“Jujur rasanya aku mau nyusul kamu aja Al, kayaknya semua akan jauh lebih mudah kalau nggak ada aku.” Air mata mengalir bak anak sungai membasahi kedua pipi Wistara tanpa bisa ia cegah. Hidungnya memerah. Suaranya tersendat oleh isak tangis.
“Maaf Al, maafin aku, aku gagal melindungi kamu, aku juga gagal jadi abang untuk Gayas, aku gagal dalam segala hal yang aku lakukan Al, aku nggak berguna.” WIstara menumpahan segala isi hatinya, meski ia tahu tidak aka nada sahutan yang akan ia terima.
“Aku harus apa Al? aku sudah nyakitin banyak orang yang aku sayang, aku nggak tahu aku harus gimana, Al? aku capek Al, bawa aku juga sama kamu.” Wistara menangis meratapi pilunya beban yang tersampir dipundaknya. Perasaannya campur aduk, bahkan Wistara bingung dengan perasaannya sendiri.
Wistara menatap wajah cantik sekaligus tampan yang memenuhi layar ponselnya. Digulirnya layar itu untuk mencari no yang ingin ia tuju.
“Hallo?” Sahutan dari sebrang sana terdengar lembut menyapa pendengaran Wistara. Suara dari seseorang yang sudah ia abaikan selama sebulan ini.
“Maaf.” Suara itu bergetar menjawab sapaan Sayaka. Sayaka adalah orang yang dihubungi Wistara.
“Mas kamu di mana? kamu baik baik aja kan? aku khawatir ma”
“Maafin aku Ka.”
“Udah Mas, kamu nggak salah, sekarang kamu bilang kamu dimana aku susulin sekarang.”
“Ka, aku nggak pantas untuk kamu.”
“Mas kasih tahu aku kamu di mana? let me know if you’re okay, please. Untuk hal itu kita bahas nanti ya, i beg you”
“Aku di makam Alea.”
“Tunggu di sana.”
“Mas…” panggil Sayaka ketika tiba di dekat Wistara.
Wistara mendongakkan kepalanya menatap Sayaka dengan mata sayu dan berair sisa tangisnya tadi. Sayaka segera berjongkok menyamakan tingginya dengan posisi Wistara dan memeluk laki-laki november itu dengan erat.
“Menangislah Mas, ada adek disini.” Tangis Wistara yang sebelumnya sudah reda kembali pecah, dalam dekapan hangat Sayaka.
“Kenapa Ka… Kenapa harus aku yang ngalamin semua ini?”
“Kenapa setiap aku berada di atas kebahagianku selalu saja tuhan jatuhkan aku tanpa ampun, Ka. Aku salah apa? Aku capek.”
“Ssssh… jangan bicara gitu mas, ini ujian dari tuhan. Kita lewatin sama sama ya.”
Diberikannya usapan lembut yang menenangkan pada tubuh yang bergetar rapuh itu. Wistara tidak lagi setegar dulu, semenjak kepergian Alea, maka Wistara juga turut kehilangan separuh dari dirinya. Sekarang ia baru saja mencoba membangun kembali separuh dirinya yang hilang. Perlahan dengan bantuan Sayaka disisinya.
“Jangan tinggalin aku Ka, aku nggak bisa kehilangan apapun lagi terutama kamu.”
“Adek nggak akan kemana mana kok, adek disini sama Mas.”
“Janji?” Wistara berujar dengan suara yang tersendat oleh tangisnya sendiri, dalam pelukan itu ia kembali menjadi lemah. Setidaknya dengan Sayaka dia bisa menunjukan sisi lemahnya.
“Janji, adek janji akan selalu bersama Mas.”
Biarkan Wistara menata kembali hati dan hidupnya yang sudah hancur itu dengan bantuan Sayaka disisnya. Biarlah dia menyimpan nama Alea sebagai salah satu kenangannya, dan ia akan mencoba melangkah kedepan beriringan dengan Sayaka menuju masa depan mereka. Sayaka, tolong tuntun Wistara agar dia bisa kembali mencintai dirinya dan juga dirimu. Laki laki yang lebih tua itu sudah rapuh, dia butuh penopangnya.